ABSTRAK
Tesis ini mengkaji tentang tuturan kritikan dalam bahasa Jepang.
Sumber data pada penelitian ini adalah manga 37.50C no Namida karya Shiina
Chika volume 1 sampai 11. Data yang ditemukan dalam penelitian ini berupa
dialog berjumlah 62 data. Data dianalisis menggunakan metode deskriptif
kualitatif berdasarkan teori mengenai tuturan kritikan dari Nguyen (2008) dan
Li (2016), teori kesantunan dari Ide (1982), dan teori prinsip sopan santun
dari Leech (1993). Berdasarkan
hasil analisis, teridentifikasi bahwa terdapat 4 jenis tuturan kritikan
langsung dan 5 jenis tuturan kritikan tidak langsung. Tuturan
kritikan langsung terdiri atas evaluasi negatif, penolakan, pernyataan masalah,
dan konsekuensi. Sementara itu, tuturan kritikan tidak langsung terdiri atas
menyatakan standar, perintah
untuk perubahan, saran untuk perubahan, bertanya atau mengisyaratkan, serta
isyarat lain. Penggunaan ekspresi kesantunan dalam bahasa Jepang tidak menjamin
pematuhan terhadap prinsip sopan santun. Terdapat tuturan dengan ekspresi
kesantunan dalam bahasa Jepang yang dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap
prinsip sopan santun. Sebaliknya, terdapat tuturan kritikan tanpa ekspresi
kesantunan dalam bahasa Jepang yang dikategorikan sebagai pematuhan terhadap
prinsip sopan santun. Hal ini disebabkan oleh jenis dari tuturan kritikan yang
digunakan. Tuturan kritikan tidak langsung akan memperkecil daya kritik
sehingga dikategorikan sebagai pematuhan terhadap prinsip sopan santun. Hasil
penelitian ini secara teoretis dapat menambah referensi mengenai tuturan
kritikan dalam bahasa Jepang dan secara praktis dapat digunakan sebagai panduan
komunikasi dalam menyampaikan kritikan.
Kata
kunci: kritik, manga, pragmatik, tuturan
ABSTRACT
This
research investigates about the utterance of criticizing in Japanese. The data were taken from manga 37.50C no Namida by Shiina Chika
volume 1 until 11. There are 62 dialogue data which is found in this research. The data analysed using
descriptive qualitative method based on theory of criticism from Nguyen (2008) and Li (2016), theory of politeness
from Ide (1982) and theory of principles of politeness from Leech (1993). The
result shows there are 4 types of direct criticism and 5 types of indirect
criticism. Types of direct criticism are negative evaluation, disapproval,
statement of the problem
and consequences. In the other hand,
types of indirect criticism are indicating standard, demand for change,
suggestion for change, asking or presupposing and other hints.
Using polite expression in Japanese does not guarantee the obedience of
principles of politeness. There are utterance using polite expression in
Japanese which is categorized as violation of principles of politeness.
Conversely, there are also utterance with no polite expression in Japanese
which is categorized as obedience of principles of politeness. The reason of
this case is type of criticism which is being used. Indirect criticism will
soften criticism so it can be categorized as obedience of principles of
politeness. Theoretically, the result of this research can be used as reference
about utterance of criticizing in Japanese and practically can be used as
communication guidance when expressing criticism.
Keywords:
criticism, manga, pragmatic, utterance
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manusia berkomunikasi dengan
menggunakan bahasa. Salah satu cara manusia berkomunikasi menggunakan bahasa
yaitu melalui sebuah tuturan. Setiap tuturan yang diucapkan memiliki makna,
baik makna yang dapat dipahami secara langsung dari tuturan tersebut maupun
makna yang bersifat abstrak. Pragmatik mempelajari makna yang bersifat abstrak
atau cara memahami makna suatu hal meskipun tidak diucapkan atau ditulis secara
langsung. Berkaitan dengan hal tersebut, penutur harus dapat memberikan
berbagai asumsi dan ekspektasi ketika berusaha untuk berkomunikasi (Yule,
2010:128). Keberhasilan dari proses komunikasi ditentukan dari keberhasilan
petutur dalam memahami maksud yang disampaikan penutur melalui sebuah tuturan.
Maksud yang disampaikan penutur
melalui suatu tuturan akan memberikan berbagai pemahaman bagi petutur.
Misalnya, seorang suami pada pagi hari berkata pada istrinya, “Bu, sudah hampir
pukul tujuh”. Menanggapi tuturan tersebut, sang istri menjawab, “Ya, Pak.
Sarapan sebentar lagi siap”. Sang istri menjawab demikian karena menafsirkan
bahwa sang suami memberitahukan padanya bahwa suami tersebut sudah harus
berangkat ke kantor (Chaer dan Agustina, 2010:56-57). Hal tersebut menunjukkan
bahwa tuturan merupakan kategori yang kaya akan fenomena-fenomena pragmatik
untuk dikaji oleh para ahli linguistik klinis (Cummings, 2007:363).
Pada kehidupan
sehari-hari, terdapat tuturan yang berfungsi untuk menyampaikan penilaian
terhadap suatu hal. Penilaian ini dapat berupa penilaian positif maupun
penilaian negatif. Penilaian positif mengacu pada pujian sedangkan penilaian
negatif mengarah pada bentuk kritikan. Kritik adalah kecaman atau tanggapan
yang kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik atau buruk terhadap
suatu hasil karya, pendapat, dan sebagainya (Alwi, 2007:601). Sementara itu,
berdasarkan Oxford Learner’s Dictionary atau Kamus Pembelajar Oxford, Hoa
(2007:144) mengungkapkan definisi mengkritik sebagai berikut.
Criticizing as the act of saying that you disapprove of something
or somebody, or what you do not like/think is wrong about something.
‘Mengkritik adalah tindakan mengatakan
bahwa tidak menyetujui sesuatu, seseorang, atau hal yang tidak disuka maupun
dirasa salah.’
Hal senada juga diungkapkan oleh Li
(2016:38), yaitu sebagai berikut.
「批判」の発話は「事態の有様が悪いことである」「話し手がその事態の有様を是認しない」という語用論条件を有するので、マイナス的語彙や否定構文のような言語形式が使われるのがふつうである。
Hihan no hatsuwa
wa “jitai no arisama ga warui koto de aru”, “hanashite ga sono jitai no arisama
o zenin shinai” to iu goyouron jouken o yuusuru node, mainasuteki goi ya hitei
koubun no youna gengo keishiki ga tsukawareru no ga futsuu de aru.
‘Tuturan kritikan mengandung kondisi pragmatik
“kondisi yang sedang tidak baik” dan “petutur tidak menyetujui kondisi
tersebut” sehingga umumnya menggunakan bentuk bahasa seperti kata-kata negatif
maupun struktur kalimat negatif.’
I don’t like the way you write that.
‘Saya
tidak suka caramu menulisnya.’
Tuturan kritikan tersebut
menunjukkan masalah terkait hasil karya petutur secara eksplisit. Penutur
secara langsung mengungkapkan sikapnya terhadap hasil perbuatan petutur dengan
mengatakan ‘I don’t like’ yang
berarti ‘saya tidak suka’. Hal ini menunjukkan penolakan karena penutur tidak
suka terhadap cara penulisan petutur. Menurut Nguyen (2008:47), jenis tuturan
ini termasuk tuturan kritikan secara langsung yang tergolong ke dalam jenis
penolakan. Tuturan kritikan jenis ini memiliki perbedaan dengan tuturan
penolakan. Perbedaan mendasar dari kedua tuturan tersebut yaitu tuturan
kritikan yang diungkapkan dengan penolakan mengandung penilaian negatif penutur
terhadap perbuatan, hasil karya, maupun pendapat petutur.
Sementara itu, tuturan
kritikan dalam bahasa Jepang dapat dilihat pada contoh yang diungkapkan oleh Li
(2016:36), yaitu sebagai berikut.
せっかく学生という身分なのに、どうして社会人の真似事のようなことをするのか。
Sekkaku
gakusei to iu mibun na noni, doushite
Dengan
susah payah mahasiswa bernama status
padahal mengapa
shakaijin no mane goto no
youna koto o suru no ka.
warga
masyarakat Gen tiruan hal
Gen seperti hal
Ak berbuat pem. Akhir
Int
‘Padahal
berstatus sebagai seorang mahasiswa tapi mengapa berpura-pura menjadi orang
dewasa yang sudah bekerja?’
Tuturan tersebut diungkapkan dengan
bentuk kalimat interogatif yang ditandai dengan kata tanya ‘doushite’ yang berarti ‘mengapa’.
Meskipun demikian, menurut Li (2016:36), tuturan tersebut sebenarnya bukanlah
bertujuan untuk mengungkapkan pertanyaan. Tuturan tersebut mengandung makna
yang bersifat negasi. Penutur mencoba mengungkapkan bahwa seorang mahasiswa
tidak seharusnya berpura-pura
menjadi orang dewasa yang sudah bekerja. Hal ini dipertegas
dengan ungkapan ‘sekkaku … noni’ yang
dapat diterjemahkan menjadi ‘padahal … tapi’. Tuturan tersebut mengandung penilaian penutur yang tidak
menyetujui perbuatan petutur. Penutur menggunakan kalimat interogatif yang
secara tidak langsung mengandung kritikan untuk memperhalus kritikannya.
Tuturan kritikan tersebut merupakan contoh tuturan kritikan yang dapat
ditemukan dalam kehidupan masyarakat Jepang.
Tuturan kritikan yang
biasa digunakan oleh masyarakat Jepang dapat dilihat melalui manga. Hal ini dikarenakan manga menggambarkan kehidupan masyarakat
Jepang. Manga berjudul 37.50C
no Namida karya Shiina Chika
merupakan manga terkenal di Jepang.
Manga ini memenangkan Shougakukan Manga
Award ke-62 pada kategori shoujo
manga di tahun 2017. Manga ini
menceritakan tentang Momoko Sugisaki, tokoh utama yang kesehariannya bertugas
untuk mengunjungi rumah anak-anak yang sedang sakit dan merawat mereka saat
orang tuanya harus bekerja. Pada manga tersebut terdapat tuturan kritikan yang diungkapkan
oleh para tokohnya. Tuturan kritikan dalam manga
tersebut tergolong dalam jenis yang berbeda-beda yang ditunjukkan dengan
penanda lingual masing-masing sehingga menjadi penting untuk diteliti. Berikut
adalah tuturan
kritikan yang terdapat dalam dialog manga
37.50C
no Namida.
Situasi : Di sekolah, Himeka (P, anak TK)
memukuli temannya dengan buku. Bu guru (P, guru TK) yang melihat kejadian
tersebut pun langsung menghampiri Himeka dan mengungkapkan kritikannya.
(1) 先生 : お友達殴ったらダメでしょー? ほら、こういう時なんて言うの?
Sensei : O
tomodachi nagu ttara
dame desho?
AWL
teman memukul kalau
tak boleh kan
Hora, kou iu toki nante iu no?
Guru :
‘Memukul teman itu tidak baik, kan? Saat seperti ini, kamu harus bilang
apa?’
姫華 :
ブズー
Himeka : Buzu…
Himeka : ‘Pffttt…’
(37.50C no Namida, Volume 1:68)
Bu guru mengatakan
bahwa ‘otomodachi naguttara dame desho?’ yang
berarti ‘Memukul teman itu tidak
baik, kan?’. Tuturan bu guru ini dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu
pernyataan ‘otomodachi naguttara dame’
dan ‘desho’ yang berfungsi untuk
memastikan pernyataan sebelumnya. Tuturan ini dapat digolongkan sebagai sebuah
pertanyaan retorik (Nguyen, 2008:48). Pertanyaan retorik adalah
strategi bertanya yang ditujukan bukan untuk mendapatkan informasi melainkan
untuk lebih menekankan jawaban yang sudah jelas dari hal yang ditanyakan
(Danesi, 2010:167).
Tuturan bu guru
tersebut merupakan tuturan ilokusi direktif. Tuturan tersebut mengandung
implikatur yang melibatkan penafsiran tidak langsung (Mulyana, 2005:11). Bu
guru menyiratkan masalah terkait dengan perbuatan Himeka yang memukul temannya.
Melalui tuturannya, bu guru ingin menyadarkan Himeka bahwa perbuatan yang telah
dilakukannya tidak baik. Himeka tidak seharusnya memukul temannya. Dengan
demikian, tuturan ini mengandung implikatur berupa nasihat untuk tidak memukul
teman.
Tuturan ini
dikategorikan sebagai tuturan kritikan secara tidak langsung dikarenakan
menyiratkan penilaian negatif penutur terhadap perbuatan petutur. Tuturan
kritikan ini dilakukan dengan bertanya atau mengisyaratkan. Kategori ini
berdasarkan pada pembagian jenis-jenis tuturan kritikan menurut Nguyen
(2008:48). Tuturan kritikan ini memiliki ciri berupa pertanyaan retorik yang
terdiri dari sebuah pernyataan ‘otomodachi
naguttara dame’ yang diikuti dengan kata ‘desho’.
Penyampaian penilaian negatif pada
petutur akan berpengaruh pada hubungan antara penutur dan petutur tersebut.
Ketika penutur beranggapan bahwa perbuatan atau pilihan dari petutur tidak
pantas atau tidak memuaskan, penutur perlu membuat keputusan, mengemukakan
kritikan atau tidak. Dalam menentukan keputusan tersebut, penutur harus
mempertimbangkan situasi dan hubungannya dengan petutur (Hoa, 2007:144).
Terlebih lagi jika petutur tersebut memiliki kekuasaan maupun status sosial
yang lebih tinggi. Kesalahan dalam menyampaikan tuturan kritikan terutama pada
petutur yang memiliki kekuasaan maupun status sosial yang lebih tinggi akan
memberikan dampak negatif pada penutur. Agar dapat menjaga hubungan baik dengan
petutur, penutur perlu mengungkapkan tuturan kritikan tersebut dengan santun.
Bukan hanya itu, penutur juga perlu mengetahui tentang adanya prinsip sopan
santun. Untuk lebih jelasnya mengenai hal ini, dapat dilihat dari tuturan
kritikan yang terdapat dalam dialog manga
37.50C
no Namida berikut.
Situasi : Sugisaki Momoko (P, pengasuh anak sakit di
lembaga Little Snow) ditugaskan untuk menjaga Sakashita Mao (P, anak-anak),
anak yang memiliki alergi terhadap telur. Di rumah Sakashita Mao, neneknya (P)
hendak memberikan makanan yang mengandung telur pada cucunya tersebut. Nenek
Sakashita Mao beranggapan bahwa hal inilah yang akan membuat anak-anak menjadi
kuat. Sugisaki Momoko kemudian mengutarakan kritikannya seperti yang terlihat
dalam percakapan berikut.
(2)
杉崎 桃子 : 真央ちゃんは医師に消化機能が成長してアレルギー反応が治まるまで「卵完全除去」と診断されたと聞きました!真央ちゃんのためを思うなら...
Sugisaki Momoko : Mao chan wa ishi ni
shouka kinou ga seichou shite arerugii hannou ga osamaru made “tamago kanzen
jokyo” to shindan sareta to kikimashita! Mao chan no tame o omou nara…
Sugisaki Momoko : ‘Saya dengar dokter mendiagnosis bahwa fungsi sistem
pencernaan Mao sedang berkembang dan ia sama sekali tidak diperbolehkan makan
telur sampai reaksi terhadap alerginya sembuh. Jika Anda memikirkan Mao…’
真央ちゃんのおばあさん: あーもう、よくわかんない。買い物行ってくるわー。
Mao chan no
obaasan : A mou, yoku wakannai.
Kaimono itte
kuru wa.
Nenek Mao : ‘Ah, saya tidak terlalu mengerti hal itu. Saya
mau pergi belanja dulu.’
杉崎 桃子 : おばあさま...!!あと少しだけお話を...!!アレルゲンを摂取するとまれにアナフィラキシーショックを起こす場合があります…!!この状態は非常に危険です…!!治療が間に合わないと…命を落とすこともあります…!!
Sugisaki
Momoko : Obaasama…!! Ato sukoshi dake ohanashi o…!! Arerugen o sesshusuru to
mareni anafirakishii
allergen Ak
mendapat kalau sekali-sekali anaphylactic
shokku o
okosu baai ga
arimasu…!!
shock
Ak menimbulkan keadaan Nom ada
Kono joutai wa hijouni kiken desu…!!
Chiryou
ga ma ni awanai to …
Perawatan Nom
tepat waktu Neg kalau
inochi o otosu koto mo arimasu…!!
meninggal hal
juga ada
Sugisaki Momoko : ‘Nenek… dengarkan dulu perkataan saya. Jika ia menerima
allergen (penyebab alergi), hal itu dapat menimbulkan anaphylactic shock!! Keadaan ini sangat berbahaya. Jika
perawatan medisnya tidak tepat waktu, maka ia bisa juga kehilangan nyawanya.’
(37.50C no Namida, Volume
6:58)
Sugisaki Momoko mengatakan bahwa ‘Arerugen o sesshu suru to mareni
anafirakishii shokku o okosu baai ga arimasu…!! Kono joutai wa hijouni kiken
desu…!! Chiryou ga ma ni awanai to … inochi o otosu koto mo arimasu…!!’
yang berarti ‘Jika ia menerima allergen (penyebab alergi), hal itu dapat
menimbulkan anaphylactic shock!!
Keadaan ini sangat berbahaya. Jika perawatan medisnya tidak sesuai, maka ia
bisa saja kehilangan nyawanya’. Tuturan tersebut merupakan tuturan ilokusi
direktif. Ilokusi ini bertujuan untuk menghasilkan suatu efek berupa tindakan
yang dilakukan penutur. Tuturan tersebut mengandung implikatur berupa perintah
untuk tidak memberikan makanan yang mengandung telur pada Sakashita Mao.
Tuturan Sugisaki Momoko tersebut
mengungkapkan bahwa perbuatan nenek Sakashita Mao yang hendak memberikan
makanan yang mengandung telur pada Sakashita Mao merupakan tindakan yang salah.
Oleh sebab itu, Sugisaki Momoko pun memberikan peringatan pada nenek Sakashita
Mao mengenai pengaruh negatif yang akan ditimbulkan jika memberikan makanan
yang mengandung telur pada Sakashita Mao. Peringatan mengenai pengaruh negatif
ini disampaikan oleh Sugisaki Momoko dengan menggunakan kalimat pengandaian
yang menyatakan hubungan sebab akibat. Kalimat pengandaian pada tuturan ini
menggunakan pola kalimat ~と.
Sugisaki mengatakan bahwa ‘Arerugen o
sesshu suru to mareni anafirakishii shokku o okosu baai ga arimasu…!!’.
Melalui tuturan tersebut, Sugisaki Momoko mengungkapkan bahwa akibat yang akan
ditimbulkan jika memberikan makanan yang mengandung telur pada Sakashita Mao
adalah anaphylactic shock. Sebagai
tambahan, ia juga mengatakan bahwa ‘Chiryou
ga ma ni awanai to … inochi o otosu koto mo arimasu…!!’. Tuturannya itu
mengungkapkan bahwa perbuatan nenek Sakashita Mao tersebut dapat menyebabkan
kematian. Kondisi ini tentunya akan mengakibatkan hal yang tidak diinginkan
oleh nenek Sakashita Mao. Menurut Nguyen (2008:47), tuturan yang diucapkan oleh
Sugisaki Momoko ini dikategorikan sebagai tuturan kritikan secara langsung
dengan mengungkapkan konsekuensi.
Sebelum mengutarakan kritikannya,
Sugisaki Momoko menyebut nenek Sakashita Mao dengan panggilan obaasama (nenek) dikarenakan nenek
Sakashita Mao memiliki kekuasaan selaku anggota dari keluarga yang
mempekerjakan Sugisaki Momoko. Menurut Ide (1982:359), penambahan kata sama di belakang nama depan merupakan
salah satu bentuk kesantunan pada elemen nominal, tepatnya pada referen
persona. Selain itu, pada tuturannya Sugisaki Momoko juga menggunakan verba
bentuk masu. Menurut Ide (1982:364),
penggunaan verba bentuk masu
merupakan realisasi dari ungkapan hormat pada petutur.
Meskipun menggunakan ekspresi
kesantunan dalam bahasa Jepang, tuturan Sugisaki Momoko ternyata melanggar
prinsip sopan santun dari Leech. Pada tuturannya, Sugisaki Momoko mengutarakan
akibat yang akan dialami oleh Sakashita Mao jika nenek Sakashita Mao memberikan
makanan yang mengandung telur pada cucunya. Sakashita Mao bisa saja meninggal
dan hal tersebut tentunya akan sangat merugikan nenek Sakashita Mao.
Berdasarkan Leech (1993:206), tuturan Sugisaki Momoko ini merupakan bentuk
pelanggaran terhadap prinsip sopan santun, khususnya pada maksim kearifan yang
berbunyi “buatlah kerugian orang lain sekecil mungkin dan buatlah keuntungan
orang lain sebesar mungkin”.
Berdasarkan
pernyataan yang telah diuraikan sebelumnya, dapat diketahui bahwa tuturan
kritikan dalam dialog (1) merupakan tuturan kritikan secara tidak langsung
sedangkan tuturan kritikan dalam dialog (2) merupakan tuturan kritikan secara
langsung. Tuturan kritikan tersebut mempunyai ciri yang berbeda-beda yang
ditunjukkan dengan penanda lingual masing-masing. Tuturan kritikan dalam dialog
(1) diungkapkan dengan penggunaan pertanyaan retorik. Pertanyaan retorik
tersebut terdiri dari dua bagian, yaitu sebuah pernyataan ‘otomodachi naguttara dame’ dan kopula ‘desho’
yang digunakan untuk memastikan pernyataan tersebut. Di lain pihak, tuturan
kritikan dalam dialog (2) memiliki memiliki tanda berupa kalimat pengandaian
dengan pola kalimat ~と.
Pola kalimat ini digunakan untuk memberi peringatan
mengenai pengaruh negatif yang akan ditimbulkan jika petutur melakukan hal yang
sesuai dengan kehendaknya. Kedua dialog yang mengandung
tuturan kritikan tersebut merupakan contoh tuturan kritikan dalam manga 37.50C no Namida. Tuturan kritikan tersebut dapat diungkapkan dengan
ekspresi kesantunan dalam bahasa Jepang. Namun, mengutarakan kritikan sesuai
dengan ekspresi kesantunan dalam bahasa Jepang ternyata belum tentu merupakan
pematuhan terhadap prinsip sopan santun. Fenomena tersebut terdapat dalam tuturan
kritikan pada manga 37.50C
no Namida. Hal inilah yang membuat penulis tertarik
untuk melakukan penelitian mengenai tuturan kritikan pada manga ini. Melalui kajian pragmatik, akan dapat diketahui pesan
yang ingin disampaikan penutur melalui tuturan kritikan meski kritikan tersebut
tidak diucapkan secara langsung. Oleh karena itu, penulis akan melakukan
penelitian yang berjudul “Tuturan
Kritikan dalam Manga 37.50C no Namida Karya Shiina Chika: Kajian
Pragmatik”.
1.2
Identifikasi
Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, dapat
dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut.
1.
Bagaimana jenis-jenis tuturan kritikan dalam
manga 37.50C no
Namida karya Shiina
Chika?
2.
Bagaimana pematuhan dan
pelanggaran prinsip sopan santun pada tuturan kritikan dalam manga 37.50C no
Namida karya Shiina
Chika?
1.3
Tujuan
Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu untuk menjawab
pertanyaan yang telah dirumuskan, yaitu sebagai berikut.
1.
Mendeskripsikan
dan mengkaji jenis-jenis tuturan kritikan dalam
manga 37.50C no
Namida karya Shiina
Chika.
2.
Mendeskripsikan
dan mengkaji pematuhan dan
pelanggaran prinsip sopan santun pada tuturan kritikan dalam manga 37.50C no
Namida karya Shiina
Chika.
0 Comments