Advertisement

Perspektif Sosiokultural pada Bahasa dan Budaya




1. Pendahuluan

Berdasarkan prespektif linguistik terapan, bahasa dianggap sebagai seperangkat sistem yang abstrak yang maknanya ada pada bentuknya, bukan pada penggunaannya. Konteks dari data dianggap sebagai bagian penting untuk menempatkan dan menggali elemen linguistik. Namun, pada saat yang bersamaan, konteks diperlakukan sebagai tambahan pada analisis. Penyelidikan dengan pendekatan linguistik terapan melibatkan bentuk linguistik pada instansi dari penggunaan bahasa serta interpretasi makna berdasarkan kerangka struktural.
Dewasa ini, linguistik terapan mulai kehilangan kaitannya dengan linguistik pada umumnya. Fokus dasar saat ini adalah studi mengenai tindakan sosial, yaitu penggunaan bahasa pada keadaan yang nyata, dengan tujuan memahami cara bahasa digunakan untuk membangun dunia sosiokultural. Fokus dari transformasi linguistik terapan ini mencakup dua konsep dasar, yaitu bahasa dan budaya.

2. Bahasa sebagai Sumber Sosiokultural

Prespektif sosiokultural dari kegiatan manusia berada pada komunikasi di kehidupan sosial. Melalui penggunaan simbol linguistik, kita dapat menentukan tujuan serta menegosiasikan makna untuk mencapai tujuan tersebut. Pada saat bersamaan, kita akan mengutarakan identitas pribadi, hubungan interpersonal, dan keanggotaan di kelompok sosial kita. Berdasarkan pandangan ini, bahasa dianggap sebagai sumber sosiokultural yang utama. Pilihan untuk mengambil tindakan dalam komunikasi mencakup susunan dari sumber linguistik, seperti elemen leksikal dan gramatikal, struktur retorik dan tindak tutur, serta penggunaan bahasa verbal, fonologi, prosodi (persajakan) hingga sumber paralinguistik seperti intonasi, aksen, tempo, maupun jeda.

2.1 Dialog sebagai Pokok dari Penggunaan Bahasa
Konsep dari dialog merupakan fokus filosofi linguistik dari seorang linguis Rusia, Mikhail Bakhtin. Menurut Bakhtin, makna tidak semata-mata terletak pada sumber linguistik maupun benak seseorang melainkan pada hubungan dialogis antara individu dan sosialnya. Dalam memposisikan dialog sebagai pusat dari studi linguistik dan tuturan sebagai unit fundamental dari analisis, Bakhtin menghilangkan berbagai perbedaan antara bentuk dan fungsi antara individu dan penggunaan bahasa secara sosial. Seperti halnya tidak ada sumber linguistik yang dapat dipahami secara terpisah dengan konteks penggunaannya, makna tuturan hanya dapat dipahami secara menyuluruh dengan mempertimbangkan riwayat penggunaannya oleh orang lain di tempat yang berbeda.

2.2 Tuturan Bersuara Tunggal dan Ganda
Menurut Bakhtin, tuturan bersuara tunggal (single-voiced utterance) merupakan tuturan yang maknanya tidak dipertanyakan, tidak dapat dinegosiasikan, serta tidak dapat diubah. Makna sosiohistoris dari tuturan ini bersifat abstrak bagi pendengar. Di lain pihak, tuturan bersuara ganda (double-voiced utterance) merupakan tuturan yang mengharapkan balasan. Makna sosiohistoris dari tuturan ini bersifat konkret bagi pendengar serta dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, tuturan bersuara ganda pasif (passive double-voiced utterance) merupakan tuturan yang digunakan sebelum digunakan oleh lawan bicara. Misalnya tuturan “Hi, how are you today? (Halo, bagaimana kabarmu?)” yang diucapkan sebagai salam pada teman. Kedua, tuturan bersuara ganda aktif (active double-voiced utterance) merupakan tuturan yang digunakan dengan maksud tertentu. Misalnya, tuturan “Don’t make me have to come down there (Jangan membuatku harus turun ke sana)” yang biasanya diucapkan oleh orang tua pada anaknya ketika anak tersebut berbuat salah. Saat konsekuensi dari diabaikannya tuturan ini tidak disebutkan, hal ini mengimplikasikan bahwa hal menakutkan akan terjadi jika tindakan yang salah tersebut tidak dihentikan.

3. Budaya sebagai Praktik Sosiokultural

Budaya dianggap sebagai konsep penting dalam linguistik terapan. Karena kita merupakan anggota dari grup serta komunitas yang beragam, kita menerima identitas budaya yang beragam dan berpartisipasi dalam beragam aktivitas budaya. Melalui tindakan linguistik, kita memilih cara tertentu untuk menafsirkan dunia kita serta mempengaruhi orang lain untuk melihat dunia kita seperti halnya kita menciptakan dan mendukung hubungan dengan mereka.
Prespektif budaya yang dinamis terletak pada celah antara hubungan individu dengan budaya. Dikatakan bahwa bahasa merupakan tempat penyimpanan kebudayaan dan alat yang menciptakan kebudayaan. Karena budaya bukan terletak pada benak seseorang melainkan ada pada suatu aktivitas, studi mengenai bahasa membutuhkan studi mengenai budaya.

4. Hubungan antara Budaya dan Bahasa (Linguistic Relativity)

Hubungan antara budaya dan bahasa diungkapkan oleh seorang pakar antropologi lingusitik Amerika bernama Edward Sapir dan muridnya yang bernama Benjamin Whorf. Gagasan ini kemudian disebut hipotesis Sapir-Whorf. Hipotesis ini mengungkapkan bahwa komponen struktural dari bahasa yang digunakan oleh kelompok tertentu mengandung makna tertentu yang secara sistematis berhubungan dengan pandangan dari kelompok tersebut. Dengan kata lain, bahasa mempengaruhi pandangan atau cara berpikir suatu kelompok.

5. Linguistik yang Dibentuk secara Sosial

Hubungan antara bahasa dan budaya juga dapat ditemukan pada gagasan antropolog linguistik bernama Dell Hymes. Hymes mengembangkan sebuah konsep dari bahasa sebagai sebuah konteks yang menempel pada tindakan sosial. Ia mengungkapkan bahwa linguistik dibentuk secara sosial, hal ini mengungkapkan pandangan bahwa fungsi sosial memberikan bentuk pada ciri khas dari linguistik yang ditemukan dalam kehidupan. Misalnya, seorang anak tidak akan bisa memproduksi tuturan yang sesuai dengan tata bahasa jika tuturan tidak dihubungkan dengan konteks penggunaannya. Ia berargumen bahwa ini adalah pengetahuan sosial yang membentuk dan memberikan makna pada bentuk linguistik.

5.1 Studi mengenai Bahasa dan Budaya dengan Pendekatan yang Dibentuk secara Sosial
Hymes mengembangkan sebuah pendekatan yang disebut ethnography of speaking. Fokus dari pendekatan ini adalah untuk mengetahui pola dari digunakannya suatu bahasa oleh anggota dari sebuah kelompok sosiokultural tertentu yang dapat merefleksikan dunia sosial mereka. Pendekatan ini telah digunakan untuk menyelidiki berbagai tindakan komunikasi dari komunitas maupun kelompok tertentu yang mencakup kotbah, pengajaran di kelas, hingga gosip. Konsep dari pendekatan ini yaitu (1) tuturan dari sebuah kelompok mendasari dibentuknya sebuah sistem, (2) fungsi tuturan dan bahasa bervariasi antarbudaya, serta (3) tindak tutur sebuah komunitas merupakan objek utama yang menjadi perhatian.

5.2 Studi Etnografis dari Aktivitas Komunikasi
Studi mengenai aktivitas komunikasi telah berkembang dari interaksi antarmuka menjadi analisis percakapan. Asumsi dasar dari analisis percakapan adalah pencapaian lokal sama-sama dihasilkan dari partisipan percakapan menggunakan sumber yang strukturnya dapat ditemukan hanya melalui analisis terhadap interaksi percakapan tersebut. Pemahaman yang lebih dinamis dari komunitas dan penggunaan bahasa saat ini mulai menyelidiki cara individu menggunakan sumber dari aktivitas komunikasinya untuk menantang status quo (keadaan tetap pada saat tertentu). Misalnya, saat seorang wanita ingin bergosip, ia akan memulainya dengan berkata “I have a bomb (Saya punya berita besar)”. Tuturannya tersebut berfungsi sebagai sinyal pada lawan bicaranya mengenai suatu hal yang akan dibicarakan.

5.3 Perubahan dari Linguistic Relativity menjadi Sociolinguistic Relativity
Sama seperti Whorf, Hymes juga memandang bahwa bahasa dan budaya memiliki keterkaitan. Namun, dengan memberikan kedudukan yang lebih tinggi pada fungsi dan penggunaan bahasa dibandingkan dengan bentuk dan kode linguistik, Hymes mentransformasi gagasan Whorf mengenai linguistic relativity menjadi sociolinguistic relativity. Poin tambahan dari gagasan ini yaitu menerangkan bahasa sebagai sebuah tindakan manusia, sumber dari relativitas terletak pada penggunaan bahasa, bukan pada struktur bahasa.

6. Fungsi Sistemis dari Linguistik

Seperti halnya Hymes, Halliday juga berpandangan bahwa bahasa secara fundamental bersifat sosial sehingga menempatkan makna bentuk linguistik pada hubungan sistemis antara fungsi dan konteks penggunaannya. Halliday juga beranggapan bahwa peran penting dari teori bahasa adalah menjelaskan fondasi sosial dari sistem bahasa. Untuk membuat hubungan antara penggunaan bahasa dan konteks menjadi jelas, Halliday mengusulkan kerangka analitik yang mencakup tiga fungsi yang berhubungan. Fungsi pertama yaitu ideational, berhubungan dengan dimensi representasi dari bahasa. Fungsi kedua adalah interpersonal, berhubungan dengan dimensi sosial dari bahasa. Fungsi terakhir yaitu textual, berhubungan dengan wacana yang koheren dan kohesif.
Halliday juga menyatakan bahwa terdapat tiga komponen untuk mendeskripsikan tipe situasi. Pertama adalah field (lahan), mengacu pada setting dan maksud. Kedua adalah tenor (tujuan), berhubungan dengan peran partisipan dan kunci atau suasana dari situasi. Komponen ketiga adalah mode, mengacu pada makna simbolis dari direalisasikannya sebuah situasi dan jenis hubungan yang paling sesuai.

7. Ringkasan

Bidang utama dari linguistik terapan mencakup dua konsep dasar, yaitu bahasa dan budaya. Berbeda dengan pandangan tradisional yang mementingkan struktur dan sistem proposisi, konsep sosiokultural memandang bahasa sebagai objek yang dinamis, sumber untuk memenuhi kehidupan sosial. Menurut pandangan ini, bahasa bukanlah fenomena individu melainkan fenomena sosial.


Daftar Pustaka

Hall, Joan Kelly. 2002. Teaching and Researching Language and Culture. Great Britain: Pearson Education Limited

Post a Comment

0 Comments