Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi nilai budaya
yang terkandung dalam leksikon persalaman masyarakat Bali. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analisis. Sumber data
dari penelitian ini adalah leksikon salam yang ditemukan pada kehidupan
sehari-hari masyarakat di Bali. Teori yang digunakan pada penelitian ini adalah
teori segitiga etnolinguistik (ethnolinguistic triangle) yang dikemukakan oleh
Riley (2008) serta konsep parahyangan dan pawongan yang diungkapkan oleh
Dianasari dkk (2013). Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini yaitu
pengetahuan tentang nilai budaya pada leksikon persalaman masyarakat Bali. Berdasarkan
hasil analisis, salam yang digunakan oleh masyarakat Bali memiliki makna
leksikal dan makna budaya. Salam tersebut juga mengandung nilai budaya. Nilai
budaya dari persalaman masyarakat Bali berkaitan erat dengan nilai religius dan
nilai kemanusiaan. Nilai religius yaitu kepercayaan masyarakat Bali terhadap
Tuhan yang dibuktikan dengan adanya sebutan suci untuk Tuhan (Om) dalam
persalaman. Sementara itu, nilai kemanusiaan yang ada dalam persalaman adalah
rasa kepedulian terhadap lawan bicara.
Kata kunci: bahasa, budaya, nilai, salam
1. Pendahuluan
Setiap masyarakat memiliki kebudayaan tertentu. Tidak ada
masyarakat yang tidak mempunyai kebudayaan dan sebaliknya tidak ada kebudayaan
tanpa masyarakat sebagai wadah dan pendukungnya (Soekanto, 2012:149). Budaya
tidak dapat terlepas dari bahasa. Jika budaya merupakan satu sistem yang
mengatur interaksi manusia di masyarakat maka bahasa merupakan suatu sistem
yang berfungsi sebagai sarana berlangsungnya interaksi tersebut (Chaer dan
Agustina, 2004:165).
Pengucapan salam merupakan contoh penggunaan bahasa dalam
kehidupan bermasyarakat. Salam yang digunakan oleh masyarakat akan bergantung
pada budaya yang dimiliki oleh masyarakat tersebut. Pada masyarakat Bali, salam
yang diungkapkan memiliki nilai budaya yang terkandung di dalamnya. Berkaitan
dengan hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi nilai budaya
yang terkandung dalam leksikon persalaman masyarakat Bali.
2. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
penelitian kualitatif. Prosedur dari penelitian kualitatif ini, yaitu
(Purwanto, 2008:26):
1. Merumuskan masalah
2. Melakukan kajian pustaka untuk mendapatkan batasan-batasan
penelitian
3. Melakukan pengumpulan informasi dengan pengamatan terlibat,
dalam hal ini adalah mengumpulkan informasi dari berbagai sumber referensi
4. Menguji keabsahan informasi untuk ditingkatkan menjadi fakta
5. Analisis fakta untuk menemukan pola kultural subjek
penelitian dan menjawab masalah
Prosedur penelitian
tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.
![]() |
Gambar 1 Prosedur Penelitian Kualitatif |
Sumber data dari penelitian ini adalah salam yang ditemukan
pada kehidupan sehari-hari masyarakat di Bali. Data yang telah terkoleksi dianalisis
untuk mengidentifikasi nilai budaya yang terkandung dalam persalaman masyarakat
Bali.
3. Landasan Teori
Teori
yang digunakan pada penelitian ini adalah teori segitiga etnolinguistik (ethnolinguistic
triangle) yang dikemukakan oleh Riley (2008:51-52). Riley mengungkapkan bahwa setiap
situasi ditentukan oleh wujud dari norma pokok, situasi tersebut hanya
merupakan manifestasi sementara dari realitas sosial. Riley menggambarkan segitiga
etnolinguistik sebagai berikut.
![]() |
Gambar 1 Segitiga Etnolingusitik (Riley, 2008:51) |
Berdasarkan ilustrasi tersebut, dapat diketahui bahwa penggunaan
bahasa oleh suatu kelompok etnis dalam realitas sosialnya akan bergantung pada
situasi tertentu. Hal ini tentunya tidak dapat terlepas pula dari budaya yang
dimiliki kelompok etnis tersebut. Pada penelitian ini, kelompok etnis yang
dimaksud adalah masyarakat Bali sehingga bahasa dan budaya yang dimaksud pun
adalah bahasa Bali dan budaya Bali.
Pada realitasnya, bahasa Bali memiliki sistem tingkatan
kehalusan bahasa yang disebut sor singgih basa Bali (sor = bawah, singgih =
halus atau hormat, basa = bahasa). Sor singgih basa Bali berarti aturan tentang
tingkatan-tingkatan atau tinggi rendah yang menyangkut rasa atau perasaan yang merujuk
pada rasa solidaritas dengan saling hormat-menghormati dalam menggunakan bahasa
Bali terhadap lawan bicara (Dirgeyasa, 2016:433).
Pada
penelitian ini juga digunakan teori mengenai pawongan yang merupakan salah satu
bagian dari konsep Tri Hita Karana. Tri Hita Karana berasal dari bahasa
Sansekerta, yaitu tri (tiga), hita (sejahtera), dan karana (sebab). Tri Hita
Karana berarti tiga penyebab terciptanya kesejahteraan atau kebahagiaan. Dua
bagian dari Tri Hita Karana yang ada pada persalaman masyarakat Bali adalah parahyangan
dan pawongan. Parahyangan merupakan ekspresi dari hubungan manusia dengan
lingkungan spiritual, yaitu kepercayaan tentang adanya Tuhan. Untuk mencapai
kesejahteraan hidup, manusia senantiasa berusaha menjaga interaksi yang
harmonis dengan lingkungan spiritual. Adanya interaksi manusia dengan
lingkungan spiritual ini membentuk sistem religi atau agama. Pawongan berasal
dari bahasa Sansekerta, yaitu dari kata wong yang berarti manusia. Pawongan
merupakan ekspresi hubungan manusia dengan sesamanya yang sekaligus refleksi
dari hakikat manusia sebagai makhluk sosial. Manusia tidak dapat hidup sendiri,
melainkan selalu berinteraksi dengan manusia lainnya, dan menjadi bagian dari
sistem sosialnya. Perwujudan dari interaksi antara orang Bali dan lingkungan
sosial, antara lain melahirkan bahasa Bali, norma-norma, peraturan-peraturan,
hukum, pranata sosial seperti kekerabatan dan pranata kemasyarakatan (Dianasari
dkk, 2013:6-7).
4. Pembahasan
Berikut
adalah data yang berhasil dikumpulkan pada penelitian ini.
No.
|
Data
|
Makna Leksikal
|
Makna Budaya
|
1.
|
Om Swastyastu
|
Semoga dalam keadaan selamat atas karunia Tuhan Yang Maha
Esa.
|
Sapaan pada lawan bicara serta perwujudan rasa saling menghargai pada
orang lain
|
2.
|
Om Santi, Santi, Santi, Om
|
Semoga damai atas karunia Tuhan
|
Tanda berakhirnya suatu kegiatan
|
3.
|
Dumogi amor ring acintya
|
Semoga bersatu dengan Tuhan yang maha suci dan tidak terpikirkan
|
Doa serta perwujudan rasa turut berduka cita atau berbela sungkawa
|
4.
|
Punapi gatra?
|
Apa kabar?
|
Sapaan pada lawan bicara serta perwujudan rasa saling menghargai pada
orang lain
|
5.
|
Ngiring, tiang pamit dumun nggih
|
Mari, saya pulang dulu ya
|
Permintaan izin untuk pulang terlebih dulu
|
6.
|
Alon-alon ring margi, nggih
|
Hati-hati di jalan, ya
|
Pesan untuk berhati-hati dalam perjalanan
|
7.
|
Ngiring ngajeng sareng sami
|
Mari makan semuanya
|
Ajakan untuk makan bersama-sama
|
8.
|
Sugra, tiang nyelang margi
|
Permisi, saya mau lewat
|
Perwujudan rasa hormat pada orang lain yang dilalui
|
9.
|
Rahajeng wanti warsa
|
Selamat ulang tahun
|
Perwujudan rasa perhatian pada orang lain
|
10.
|
Dumogi setata kenak sareng sami
|
Semoga semua selalu dalam keadaan sehat
|
Doa serta perwujudan rasa perhatian pada orang lain
|
[Data 1]
Om Swastyastu
Pada saat bertemu dengan orang lain, orang Bali akan berkata
“Om Swastyastu”. Om Swastyastu berasal dari bahasa Sansekerta. Om Swastyastu
terdiri dari tiga kata, yaitu Om, swasti, dan astu. Kata Om merupakan sebutan suci
untuk Tuhan Yang Maha Esa (Sang Hyang Widhi). Kata swasti berarti selamat, bahagia,
atau sejahtera. Kata astu berarti semoga. Dengan demikian, Om Swastyastu
berarti “semoga dalam keadaan selamat atas karunia Tuhan Yang Maha
Esa”. Salam Om Swastyastu tidak memilih waktu, dapat diucapkan saat pagi,
siang, sore, maupun malam (Artawan, 2008). Realisasi penggunaan salam ini dapat
dilihat keseharian masyarakat Bali. Pengucapan salam ini secara sosial dan
budaya mengandung makna sapaan pada lawan bicara serta perwujudan rasa saling
menghargai pada orang lain. Selain diucapkan saat bertemu dengan kerabat, salam
ini juga digunakan sebagai pembuka saat menyampaikan pidato, menulis surat,
maupun saat menelepon.
[Data 2] Om Santi, Santi, Santi, Om
“Om Santi, Santi, Santi, Om” digunakan sebagai penutup saat
menulis surat serta mengakhiri suatu kegiatan. Kata Om merupakan sebutan suci
untuk Tuhan Yang Maha Esa (Sang Hyang Widhi). Kata Santi berasal dari bahasa
Sansekerta yang berarti damai. Dengan demikian, “Om Santi, Santi, Santi, Om”
berarti semoga damai atas karunia Tuhan (Juliana, 2012). Secara budaya,
pengucapan salam ini merupakan tanda berakhirnya suatu kegiatan. Jika dilihat
dari segi sosial, pengucapan salam penutup ini merupakan perwujudan rasa
menghargai pada lawan bicara. Penutur tidak serta merta mengakhiri suatu
kegiatan melainkan mengucapkan salam penutup terlebih dahulu pada lawan bicara
sebelum kegiatan tersebut benar-benar selesai.
[Data 3] Dumogi Amor ring Acintya
Ketika
ada kerabat yang meninggal dunia, umat Hindu di Bali akan mengucapkan “dumogi
amor ring acintya”. Dumogi merupakan bahasa Bali yang berarti semoga. Amor ring
acintya berasal dari bahasa Sansekerta. Amor berarti bersatu, menghilang, atau
menuju dalam situasi ketiadaan. Acintya berarti tidak tersentuh oleh pikiran.
Jadi, dumogi amor ring acintya memiliki makna semoga bersatu dengan Tuhan yang
maha suci dan tidak terpikirkan (Akriko, 2016). Tuturan ini berfungsi sebagai
doa agar jiwa orang yang meninggal dapat kembali bersatu dengan Sang Maha
Pencipta. Selain makna budaya sebagai perwujudan rasa turut berduka cita atau
berbela sungkawa, ungkapan ini secara sosial juga memiliki makna kepedulian
kita terhadap keluarga dari orang yang meninggal tersebut.
[Data 4] Punapi Gatra?
Salam
“punapi gatra” berasal dari bahasa Bali yang mengandung makna “apa kabar?”
(punapi = bagaimana, gatra = keadaan). Salam ini biasa diucapkan pada saat
bertemu dengan rekan yang lama tidak dijumpai maupun pada percakapan melalui
telepon dan surat. Pengucapan salam ini merupakan bentuk sapaan pada lawan
bicara serta perwujudan rasa saling menghargai pada orang lain. Salam ini dapat
diucapkan pada orang yang lebih tua atau orang yang memiliki status sosial
lebih tinggi karena tergolong bahasa Bali halus.
[Data 5] Ngiring, Tiang Pamit Dumun Nggih
Salam
“ngiring, tiang pamit dumun nggih” berasal dari bahasa Bali yang secara
leksikal bermakna “mari, saya pulang dulu ya” (ngiring = mari, tiang = saya,
pamit = pulang, dumun = dulu, nggih = ya). Salam ini dapat diucapkan pada orang
yang lebih tua atau orang yang memiliki status sosial lebih tinggi karena
tergolong bahasa Bali halus. Salam ini biasa diucapkan ketika penutur akan
pulang. Salam ini ditujukan pada petutur yang masih berada di lokasi tempat
tuturan diucapkan. Lokasi yang dimaksud tidak terbatas pada suatu lokasi
tertentu, melainkan dapat mengacu pada kantor, sekolah, dan lain-lain. Makna
budaya yang terkandung dalam tuturan ini adalah permintaan izin untuk pulang
terlebih dulu perwujudan serta rasa menghargai terhadap petutur yang masih berada
di tempat tersebut.
[Data 6] Alon-alon ring Margi, Nggih
“Alon-alon
ring margi, nggih” dalam bahasa Bali mengandung arti “hati-hati di jalan, ya”
dalam bahasa Indonesia (alon-alon = hati-hati, ring = di, margi = jalan, nggih
= ya). Salam ini biasa diucapkan oleh orang Bali pada rekan yang hendak
melakukan perjalanan. Salam ini juga dapat diucapkan pada orang yang lebih tua
atau orang yang memiliki status sosial lebih tinggi karena tergolong bahasa
Bali halus. Salam ini mengandung pesan untuk senantiasa berhati-hati dalam
perjalanan serta perwujudan rasa perhatian pada orang lain.
[Data 7] Ngiring Ngajeng sareng Sami
“Ngiring
ngajeng sareng sami” merupakan bahasa Bali yang bermakna “mari makan semuanya”
(ngiring = mari, ngajeng = makan, sareng = bersama, sami = semua). Salam ini
dapat diucapkan pada teman, orang yang lebih tua, maupun orang yang memiliki
status sosial lebih tinggi karena tergolong bahasa Bali halus. Salam ini biasa
diucapkan saat hendak makan. Pengucapan salam ini mengandung makna ajakan untuk
makan bersama-sama serta perwujudan rasa perhatian pada orang lain. Dalam
masyarakat Bali, makan tanpa menawari orang di sekitar merupakan suatu hal yang
tidak sopan.
[Data 8] Sugra, Tiang Nyelang Margi
“Sugra,
tiang nyelang margi” dalam bahasa Bali secara harfiah dapat diartikan menjadi
“permisi, saya mau lewat” (sugra = permisi, tiang = saya, nyelang = meminjam, margi
= jalan). Salam ini diucapkan saat penutur hendak berjalan melewati orang-orang
yang ada di sekitarnya terutama jika orang tersebut duduk di bawah sedangkan
penutur hendak melintas melewati orang tersebut. Salam ini dapat diucapkan pada
orang yang lebih tua atau orang yang memiliki status sosial lebih tinggi karena
tergolong bahasa Bali halus. Makna budaya yang terkandung dalam salam ini
adalah perwujudan rasa hormat pada orang lain. Melintas di depan orang yang
sedang duduk di bawah tanpa mengucapkan salam ini dipandang oleh masyarakat
Bali sebagai perbuatan yang tidak sopan.
[Data 9] Rahajeng Wanti Warsa
Pada
saat kerabat sedang berulang tahun, orang Bali akan mengucapkan “rahajeng wanti
warsa” yang mengandung arti “selamat ulang tahun” (rahajeng = selamat, wanti =
berganti, warsa = tahun). Salam ini dapat diucapkan pada teman maupun orang
yang lebih tua karena tergolong bahasa Bali halus. Salam ini merupakan wujud
rasa perhatian pada kerabat yang sedang berulang tahun.
[Data 10] Dumogi Setata Kenak sareng Sami
“Dumogi
setata kenak sareng sami” berarti “semoga semua selalu dalam keadaan sehat”
(dumogi = semoga, setata = selalu, kenak = sehat, sareng = bersama, sami =
semua). Salam ini biasa diucapkan saat bertemu dengan kerabat dekat maupun pada
percakapan melalui telepon dan surat. Salam ini juga dapat diucapkan pada orang
yang lebih tua atau orang yang memiliki status sosial lebih tinggi karena
tergolong bahasa Bali halus. Salam ini biasanya diungkapkan setelah salam
“punapi gatra?” yang berarti “apa kabar?”. Kata “sareng sami” yang berarti
“semua” pada salam ini umumnya mengacu pada keluarga petutur. Makna budaya yang
terkandung pada salam ini adalah doa serta perwujudan rasa perhatian pada
petutur.
Secara
umum, nilai budaya dari persalaman masyarakat Bali berkaitan erat dengan nilai
religius dan nilai kemanusiaan. Nilai religius dibuktikan dengan adanya sebutan
suci untuk Tuhan (Om) dalam persalaman masyarakat Bali. Hal ini berhubungan
dengan konsep parahyangan, yaitu kepercayaan masyarakat Bali dengan Tuhan Yang
Maha Esa (Sang Hyang Widhi) disertai dengan hubungan yang baik antara
masyarakat Bali dengan Tuhan. Nilai kemanusiaan yaitu perwujudan rasa
kepedulian dan menghormati lawan bicara. Sebagai makhluk sosial, masyarakat
Bali senantiasa menjalin komunikasi dengan masyarakat sekitar dengan
mengucapkan salam-salam ini. Hal ini berhubungan dengan konsep pawongan yang
dijunjung oleh masyarakat Bali. Konsep ini menimbulkan hubungan yang harmonis
antara manusia dengan sesamanya.
5. Penutup
Berdasarkan
hasil pembahasan, dapat diketahui bahwa dalam realitasnya, persalaman
masyarakat Bali dapat berasal dari bahasa Bali maupun bahasa Sansekerta. Bahasa
Bali yang digunakan dalam persalaman masyarakat Bali mengenal sistem tingkatan
kehalusan bahasa yang disebut sor singgih basa Bali. Simpulan dari penelitian
ini yaitu persalaman pada masyarakat Bali memiliki makna leksikal dan makna
budaya. Selain itu, salam yang diucapkan oleh masyarakat Bali juga mengandung
nilai budaya. Nilai budaya dari persalaman masyarakat Bali berkaitan dengan nilai
religius dan nilai kemanusiaan. Nilai religius yaitu kepercayaan masyarakat
Bali terhadap Tuhan yang dibuktikan dengan adanya sebutan suci untuk Tuhan (Om)
dalam persalaman. Nilai religius berhubungan dengan konsep parahyangan, yaitu
kepercayaan masyarakat Bali dengan Tuhan Yang Maha Esa (Sang Hyang Widhi)
disertai dengan hubungan yang baik antara masyarakat Bali dengan Tuhan. Nilai
kemanusiaan yaitu perwujudan rasa kepedulian dan menghormati lawan bicara.
Nilai kemanusiaan ini berkaitan dengan konsep pawongan yang dianut oleh
masyarakat Bali, yaitu hubungan harmonis antara manusia dengan sesamanya yang
sekaligus refleksi dari hakikat manusia sebagai makhluk sosial.
Daftar Pustaka
Akriko. 2016. Makna Kata Amor ring Acintya. Diakses dari
website http://www.akriko.com/2016/03/makna-kata-amor-ring-acintya.html pada 6
Oktober 2017
Artawan, I Made. 2008. Pengertian Om Swastyastu. Diakses
dari website http://pasektangkas.blogspot.co.id/2008/06/pengertian-om-swastyastu.html
pada 4 Oktober 2017
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik:
Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta
Dianasari, Dewa Ayu Made Lily dkk. 2013. “Implementasi Tri
Hita Karana dalam Pariwisata di Bali (Studi Kasus Hotel-Hotel di Ubud, Gianyar)”
(laporan penelitian). Badung: Sekolah Tinggi Pariwisata Nusa Dua Bali
Dirgeyasa, I Wayan. 2016. Potret Penggunaan Bahasa Bali bagi
Komunitas Bali di Kota Medan. Unika Atma Jaya:432-436
Juliana, Pande. 2012. Panganjali, Swastika dan Paramasanti.
Diakses dari website https://pandejuliana.wordpress.com/2012/03/17/panganjali-swastika-dan-paramasanti/
pada 7 Oktober 2017
Purwanto. 2008. Metodologi Penelitian Kuantitatif.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Riley, Philip. 2008. Language, Culture and Identity. New
York: Athenaeum Press Ltd.
Soekanto, Soerjono. 2012. Sosiologi: Suatu Pengantar.
Jakarta: PT Rajagrafindo Persada
0 Comments