Advertisement

Menguak Kuasa dan Ideologi Melalui Pilihan Ketransitifan


1. Pengantar

            Bahasa politik mengandung muatan-muatan kekuasaan dan ideologi yang tersembunyi di dalamnya struktur-struktur lingual. Struktur lingual akan didayagunakan dalam rangka mensistematisasikan, mentransformasikan, dan bahkan mengaburkan realitas, mengatur ide atau perilaku orang lain, mengklasifikasikan dan menggolongkan sebuah masyarakat, peristiwa, serta objek-objek untuk menegaskan status institusional dan personal. Bahasa politik selalu identik dengan muatan kuasa dan ideologi itu. Bentuk bahasa yang digunakan dipilih menurut seperangkat kendala politis, sosial, kultural, dan ideologis. Masyarakat pun dapat dimanipulasi, dibentuk dalam aturan yang baik, dan dinilai peran serta status bawahan/atasan melalui sistem strategi kekuasaan (pengaturan dan subordinasi), solidaritas (kohesi dan antagonisme) yang semuanya merupakan bagian integral dari sistem penguasaan bahasa dan masyarakat.

2. Teori Ketransitifan

            Pilihan ketransitifan (transitivity) sangat menonjol dalam wacana politik. Teori ini bersumber dari fungsi representasi bahasa, yakni fungsi bahasa yang bertugas menyandikan (encode) pengalaman tentang dunia dan membawa gambaran mental realitas. Menurut Halliday, pemahaman terhadap realitas “apa yang sedang berlangsung” (goings-on) dapat berupa: doing, happening, feeling, dan being. Apa yang sedang berlangsung ini dipilah dalam sistem semantis suatu bahasa lalu diwujudkan melalui klausa. Inilah yang disebut “sistem ketransitifan” (transitivity system).
            Secara semantis, sebuah proses berisi tiga komponen, yakni (1) proses itu sendiri, (2) partisipan yang terlibat dalam proses, dan (3) keterangan-keterangan atau keadaan (circumstances) yang terkait dalam proses itu. Terdapat tiga jenis proses utama, yakni (1) proses material, (2) proses relasional, dan (3) proses proyeksi. Halliday membagi proses utama menjadi proses material, proses mental, dan proses relasional. Berikut adalah rincian sistem ketransitifan.
  
Jabaran sistem ketransitifan menurut Halliday

            Proses material (material process) melibatkan proses-proses dengan makna perbuatan (doing), kejadian (happening), dan perilaku (behavioral). Proses relasional (relational process) dicirikan dengan keterkaitan antara partisipan dengan identitas dan periannya. Proses proyeksi (projecting process) melibatkan proses persepsi (melihat, mendengar, dan sebagainya), afeksi (menyukai, takut, dan sebagainya), kognisi (berpikir, mengetahui, memahami, dan sebagainya). Menurut Fowler, pilihan terhadap ketransitifan tersebut akan menunjukkan pilihan pandangan dunia (world view) atau ideologi penuturnya.
            Hal lain dalam kajian sistem ketransitifan adalah keberadaan agen. Dalam klausa, agen dapat muncul secara eksplisit dan dapat pula tidak muncul dikarenakan alasan-alasan tertentu. Agen yang muncul pada umumnya berupa sesuatu yang bernyawa (animate) namun dapat pula direalisasikan dalam bentuk lain, seperti nomina tak bernyawa, nomina abstrak, atau nominalisasi. Pilihan terhadap agen tersebut akan mengimplikasikan signifikan ideologis tertentu.

3. Metode Penelitian
            Subjek dalam penelitian ini adalah presiden, menteri, dan para ketua partai politik. Ketiga subjek ini adalah sebagian dari individu yang dalam istilah Erickson disebut gatekeepers, yakni individu-individu yang telah diberikan autoritas untuk membuat keputusan atas nama institusi yang akan memperngaruhi mobilitas orang lain atau masyarakat pada umumnya.
            Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif-kritis atau dalam istilah Connole, Smith, dan Wiseman (1993) disebut penelitian kritis (critical research). Penelitian kualitatif-kritis bersumber dari ilmu sosial kritis serta ilmu sosial positif. Penelitian ini berjenis “analisis wacana kritis” (critical discourse analysis), terutama model Fairclough. Dalam aplikasinya, analisis wacana kritis berupa analisis terhadap tiga dimensi wacana secara simultan, yakni (1) analisis teks politik, (2) analisis praksis wacana politik, dan (3) analisis praksis sosiokultural. Berikut adalah model analisis wacana kritis dari Fairclough.
Model analisis wacana kritis Fairclough

            Analisis teks politik berupa kegiatan pemerian lingual dari bahasa teks. Pada tahap ini, penggunaan berbagai bentuk lingual dalam wacana dianalisis. Analisis praksis wacana berupa kegiatan penafsiran dari hubungan antara proses-proses diskursif (produktif dan interpretif) dan teks. Analisis praksis sosio-kultural berupa kegiatan penjelasan dari hubungan antara proses-proses diskursif dan proses-proses sosial. Analisis terhadap proses institusional dan proses sosiokultural dilakukan untuk memberikan penjelasan mengenai alasan para elite politik memilih bentuk ketransitifan tertentu. Dengan demikian, analisis wacana kritis bukan hanya memandang fenomena lingual atas kalimat atau klausa berdasarkan interpretasi lokal namun merupakan suatu eksplorasi mengenai cara teks pada semua tingkatan bekerja dalam performansi sosiobudaya yang melatarbelakangi subjek dan kejadian-kejadian yang terdapat dalam teks.

4. Hasil Penelitian dan Pembahasan

            Tahapan dalam analisis ketransitifan adalah menghitung presentase ketransitifan yang muncul dalam teks yang dihasilkan oleh para elite politik, lalu diikuti dengan prosedur analisis dari Fairclough, yakni deskripsi, interpretasi, dan eksplanasi.
4.1 Proses Material
            Tiga kategori makna yang terkandung dalam klausa material, yakni perbuatan, kejadian, dan perilaku. Pilihan ketransitifan menunjukkan pilihan perspektif atau pandangan dunia (world view) atau ideologi elite politik. Pilihan ketransitifan yang berbeda dalam klausa sering menunjukkan adanya perbedaan pandangan dunia atau ideologi.
 Ideologi Politik I: “Mempertahankan Apa yang Sudah Ada”
            Ideologi ini adalah pandangan hidup yang dipercayai oleh elite politik yang sedang mengemban tugas sebagai pelaksana pemerintahan dan tokoh atau elite politik lain yang menginginkan sebuah reformasi yang berlangsung dalam keadaan damai atau reformasi tanpa kekerasan. Ideologi ini pada umumnya memiliki karakteristik (1) menonjolkan peran pembangunan, (2) menyakralkan dan mempertahankan konstitusi UUD 1945, (3) tidak mengakomodasi suara-suara di luar lembaga formal pemerintah, dan (4) sangat menyakralkan jabatan-jabatan eksekutif di pemerintahan. Ideologi seperti ini dapat dilihat pada kutipan berikut.
SH       : Saya kira kalau dibandingkan, jumlah rakyat yang mendukung digelar SI jauh lebih banyak. Sebab, misi rakyat yang ingin tetap melaksanakan SI ingin menyelamatkan negara dan bangsa.
Tulisan bercetak tebal tersebut merupakan klausa berjenis proses material yang di dalamnya mewadahi ideologi penutur. Ideologi tersebut dapat dilihat dari verba yang digunakan, yakni “menyelamatkan” yang bermakna ‘perbuatan’. Klausa tersebut dapat dianalisis dalam ketransitifannya sebagai berikut.
Misi rakyat yang ingin tetap melaksanakan SI
ingin menyelamatkan
negara dan bangsa
0
Aktor
Proses perbuatan
Goal
Keterangan
Verba “menyelamatkan” dari bentuk dasar “selamat” memiliki makna ‘terhindar dari bahaya’ atau ‘tidak mendapatkan kecelakaan’. Verba ini banyak digunakan dalam konteks, seperti ‘menyelamatkan penumpang dari kecelakaan maut’, ‘menyelamatkan korban dari bencana alam’, ‘menyelamatkan anak dari ancaman binatang buas’, dan sebagainya. Dengan demikian, verba “menyelamatkan” akan mengandung makna ‘melepaskan diri dari bahaya yang mengancam dirinya’.
Analisis ideologi politik yang muncul dalam kutipan tersebut, yaitu (1) pandangan penghasil teks terhadap kondisi negara dan pemerintahan Indonesia disampaikan melalui verba yang menduduki proses itu, NKRI diidentikkan dengan “sesuatu” yang berada dalam keadaan yang terancam bahaya yang datang dari luar dan (2) penyembunyian atau pengaburan “agen” atau goal yang ingin mengancam negara dengan cara nominalisasi. Nominalisasi seperti itu dapat mengurangi intensitas makna ‘ancaman’.
Ideologi Politik II: “Pembaharuan di Segala Bidang Kehidupan”
Ideologi ini adalah ideologi yang pada umumnya dipercayai oleh elite politik yang menuntut turunnya (mantan) Presiden Soeharto dari singgasana kepresidenan atau dari kalangan politik yang juga menuntut adanya demokrasi di segala bidang kehidupan. Ideologi ini dapat dilihat pada kutipan berikut.
SBP     : Jika pemilihan umum mendatang ini kalau pada akhirnya harus menimbulkan kembali, harus membangkitkan kembali orde baru, disintegrasi pasti akan terjadi (3a). Oleh karena itu, orde baru harus ditumbangkan (3b). Apa pun yang terjadi, orde baru yang ingin menang harus dikalahkan (3c). Mereka harus dihukum (3d).
Dalam kutipan tersebut, penghasil teks (SBP) lebih menonjolkan goal daripada “aktor”. Artinya, dalam pandangan SBP yang lebih penting dalam klausa tersebut adalah “tujuan” dari proses yang ada, bukan “siapa” yang melakukan proses itu. Klausa-klausa pembangunnya berupa klausa material atau proses melakukan. Sistem ketransitifan pada (3a), (3b), (3c), dan (3d) semuanya mengandung makna ‘kejadian’. Berikut adalah analisis sistem ketransitifan klausa (3a).
Disintegrasi
pasti akan terjadi
0
jika pemilihan umum mendatang ini kalau pada akhirnya harus menimbulkan kembali, harus membangkitkan kembali orde baru
Goal
Proses kejadian
Aktor
Keterangan
            Catatan berkaitan dengan analisis (3a), yaitu pertama, ketidakhadiran aktor dalam klausa karena dalam klausa tersebut yang lebih ditonjolkan adalah goal-nya, yakni disintegrasi. Kedua, pengedepanan unsur keterangan dalam klausa dalam teks secara keseluruhan memberikan pemahaman tentang ideologi penutur yang anti orde baru. Analisis terhadap klausa (3b), (3c), dan (3d) memiliki pola yang sama dengan (3a), yakni ketidakhadiran aktor dalam klausanya serta mementingkan goal dan proses. Dengan demikian, penonjolan goal dalam ketiga klausa yakni “orde baru” membawa implikasi ideologis tertentu. Orde baru sebagai institusi yang cenderung dipersalahkan “harus ditumbangkan”, “harus dikalahkan”, dan “harus dihukum”.

Ideologi Politik III: “Pementingan Sistem yang Mantap”
            Elite politik kelompok ketiga ini memandang bahwa rusaknya perikehidupan sosial-politik, sosial-ekonomi, dan sosial-budaya Indonesia disebabkan oleh belum adanya sistem yang mantap dalam setiap bidang kehidupan itu.
YIM    : Jangan nasib masa depan satu bangsa diserahkan pada satu orang seperti terjadi 53 tahun belakangan ini (4a) yang pada akhirnya menyulitkan kita bersama. Suatu negara yang kuat harus dibangun di atas sistem yang kuat. Kita bangun suatu sistem, bukan tunduk pada orang (4b).
Ketransitifan klausa pertama dapat dianalisis sebagai berikut.
Nasib masa depan suatu bangsa
diserahkan
0
pada satu orang seperti yang terjadi 53 tahun lalu
Goal
Proses kejadian
Aktor
Keterangan
Catatan yang dapat dikemukakan, yaitu (1) ketidakhadiran aktor dalam klausa, (2) posisi ideologis yang cenderung netral dapat diperhatikan pada unsur yang menduduki keterangan dalam klausa, dan (3) pilihan verba “diserahkan” yang menduduki proses menimbulkan pertanyaan lebih lanjut (kata “diserahkan” memiliki makna ‘diberikan’) padahal dalam sebuah negara modern yang demokratis, jabatan politis harus diperoleh melalui pertarungan politik. Paparan ini lebih diperkuat dalam analisis klausa (4b) berikut.
kita
bangun
suatu sistem
bukan tunduk pada orang
Aktor
Proses perbuatan
Goal
Keterangan
Beberapa catatan yang dapat diungkapkan berkaitan dengan (4b), yaitu (1) penggunaan pronominal persona “kita” pada klausa yang memiliki makna inklusif bahwa tugas membangun suatu sistem yang kuat adalah tugas dari seluruh bangsa Indonesia serta (2) pemilihan kata “bangun” yang secara leksikal mengandung makna ‘bentuk’ mengimplikasikan bahwa “sistem” bukanlah suatu barang jadi melainkan sesuatu yang harus dibentuk melalui proses dinamis yang panjang dan tidak pernah berakhir.

4.2 Proses Mental atau Proyeksi
            Halliday mengungkapkan bahwa proses mental dapat diklasifikasikan menjadi tiga golongan besar, yakni persepsi (melihat, mendengar, dan memandang), afeksi (menyukai, khawatir, optimis, dan merasa), dan kognisi (berpikir, berpendapat, mengetahui, dan memahami). Proses mental ini kemudian berubah nama menjadi proses proyeksi dalam Halliday (1994) serta Butt dkk (1995).

4.3 Proses Relasi atau Proses “Menjadi”
            Proses ini terdiri dari tiga modus, yakni proses atributif (dicirikan dengan “a is an attribute of x”), proses identifikasi (dicirikan dengan “a is the identity of x”), dan proses eksistensial (dicirikan dengan penggunaan kata “ada” atau “tidak ada”). Dua modus pertama masing-masing memiliki tiga tipe, yakni intensif, keadaan, dan posesif. Partisipan dalam proses relasi dapat berupa “penyandang” (carrier) dan “atribut”, “teridentifikasi” dan “pengidentifikasi”, serta “eksisten”.
            Banyak tuturan elite politik Indonesia yang mendayagunakan klausa identifikasi dengan memanfaatkan konjungsi “adalah”. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut.
SBY    : Saya mencatat ada banyak pandangan dan pemikiran dari floor. Sebagian besar adalah pandangan yang positif dan konstruktif. Sebagian kecil adalah pandangan yang benar, tetapi masih harus dibahas lebih lanjut karena masalahnya tidak sederhana. Sebagian lagi adalah masalah yang terlalu dilebih-lebihkan, didramatisasi, digeneralisasi, disimplifikasi, kadang-kadang juga menggunakan analogi yang tidak tepat.
Kutipan tersebut mengandung tiga klausa yang menggunakan konjungsi “adalah”. Klausa kedua, yakni sebagian besar adalah pandangan yang positif dan konstruktif dapat dianalisis ketransitifannya sebagai berikut.
Sebagian besar
adalah
pandangan yang positif dan konstruktif
Teridentifikasi
Proses relasi
Pengidentifikasi
            Urutan pembangun klausa tersebut adalah teridentifikasi + proses relasi + pengidentifikasi serta dapat dibalik dengan urutan pengidentifikasi + proses relasi + teridentifikasi. Dengan demikian, apa yang dihasilkan SBY secara teoretis sangat relevan dengan sistem ketransitifannya. Hasil analisis ini relevan dengan yang menyebutkan bahwa SBY memiliki kecenderungan berideologi “mempertahankan apa yang sudah ada”.
                                                                                                   
5. Penutup
            Berdasarkan pemaparan sebelumnya, dapat dikemukakan tiga simpulan, yaitu:
1.      elite politik Indonesia era pasca-orde baru memiliki kecenderungan untuk menggunakan klausa yang berjenis proses material
2.      elite politik Indonesia era pasca-orde baru memiliki kecenderungan menggunakan klausa proyeksi yang bermakna afeksi atau perasaan, bukan klausa dengan verba yang menonjolkan kognisi, persepsi, dan verbal
3.      elite politik Indonesia era pasca-orde baru memiliki kecenderungan menggunakan klausa relasi dengan makna ‘identifikasi’. Dalam pandangan linguistik kritis, susunan klausa teridentifikasi + proses relasi + pengidentifikasi atau sebaliknya sama-sama memiliki muatan ideologis dari penghasil teks.

Daftar Pustaka

Santoso, Anang. 2012. Studi Bahasa Kritis: Menguak Bahasa Membongkar Kuasa. Bandung: CV Mandar Maju

Post a Comment

0 Comments