A. Studi Bahasa Kritis
Beberapa pokok pikiran yang disajikan adalah bahasa
dalam masyarakat kontemporer, bahasa sebagai praktik sosial, transformasi
realitas dan ideologi, serta alasan kehadiran studi bahasa kritis (Santoso,
2012:2-18).
1.
Bahasa dalam
Masyarakat Kontemporer
Dewasa ini, perubahan sosial terjadi begitu cepat.
Fairclough mengungkapkan tiga karakteristik dari perubahan sosial, yaitu
perubahan pada cara-cara tempat kekuatan dan kontrol sosial digunakan,
perubahan dalam praktik-praktik bahasa, dan bahasa yang menjadi target dari
suatu perubahan dengan pencapaian perubahan dalam praktik bahasa.
2. Bahasa sebagai Praktik Sosial
Penggunaan bahasa secara nyata selalu terkait dengan
kekuasaan. Fowler mengungkapkan bahwa kuasa adalah kemampuan yang dimiliki
seseorang atau institusi dalam mengendalikan atau mengontrol perilaku dan
kehidupan material orang lain. Kuasa adalah persoalan relasi timbal balik
antara “yang menguasai” dan “yang dikuasai”. Kekuasaan ini tidak dapat
dipisahkan dari interaksi sosial dan akan memperoleh maknanya dalam interaksi
sosial tersebut.
Kuasa memiliki relasi dengan kelas sosial atau
status sosial, yaitu penguasa memiliki kemungkinan lebih banyak dalam memilih
bahasa dibandingkan dengan yang terkuasai. Perbedaan kekuasaan mengakibatkan perbedaan
di dalam karakteristik bahasa yang dipilihnya, baik dalam pilihan fonologi,
gramatikal, maupun leksikal. Fowler pun menawarkan rumus umum kekuasaan yang
memiliki relasi timbal balik yang tidak sejajar, yaitu “X lebih berkuasa
daripada Y atau X memiliki kekuasaan di atas Y”.
Selain itu, kuasa juga memiliki relasi dengan
politik karena politik selalu berkaitan dengan penguasaan terhadap orang
banyak. Alat efektif yang digunakan untuk penguasaan itu adalah bahasa. Hal
tersebut terlihat dari wacana politik yang didominasi simbol-simbol kebahasaan
dari partisipan yang berkuasa pada partisipan yang dikuasai.
Berkaitan dengan kajian tentang bahasa, kekuasaan,
dan emansipasi di Afrika Selatan, de Kadt mengklasifikasikan kekuasaan lingual
menjadi dua tipe, yaitu kekuasaan yang jelas (the overt power) dan kekuasaan yang samar (the covert power). Kekuasaan yang jelas dibagi menjadi dua subtipe,
yaitu kekuasaan pragmatis (bahasa didasarkan pada dominasi komunikatif dan
urusan pragmatis dari kaidah wacana) dan kekuasaan simbolis (bahasa merupakan
interpretif dan melibatkan penghargaan serta prestise).
Masih berkaitan dengan kekuasaan, Handy mengamati
adanya lima sumber kekuasaan yang amat prinsip, yakni kekuasaan fisik
(kekuasaan yang dimiliki oleh individu karena fisiknya yang kuat), kekuasaan
sumber daya (kekuasaan yang dimiliki dari pengendalian sumber daya yang
bernilai, seperti ekonomi, sosial, dan budaya), kekuasaan posisional atau
kekuasaan institusional (kekuasaan yang dimiliki karena posisi seseorang di dalam
masyarakat), kekuasaan kepakaran (kekuasaan yang dimiliki karena kepandaian
seseorang), serta kekuasaan personal (kekuasaan yang dimiliki dan melekat pada
seseorang karena karisma atau popularitasnya).
3. Transformasi Realitas dan Ideologi
Pada studi bahasa kritis, transformasi dimaknai
sebagai perubahan bentuk dari sebuah fakta yang sama menjadi deskripsi, narasi,
berita, dan pilihan bahasa yang berbeda. Transformasi ini dikelompokkan menjadi
dua bagian, yaitu transformasi leksikal dan transformasi gramatikal.
Transformasi leksikal atau kata dapat dilihat dari pemilihan kata yang
digunakan oleh wartawan, misalnya pemilihan kata demonstran, pengunjuk rasa,
massa, kerumunan, perusuh, pengacau, atau pembuat onar. Transformasi gramatikal
berkaitan dengan penataan letak subjek dan predikat, serta termasuk pula objek
dan pelengkap.
4. Alasan Pentingnya Kehadiran Studi Bahasa Kritis
Studi bahasa kritis memandang bahwa setiap pilihan
bahasa mengandung “agenda yang tersembunyi” sehingga sudah seharusnya untuk
ditanggapi dengan sikap curiga dan kritis. Studi bahasa kritis adalah kajian
bahasa yang bertujuan untuk memberdayakan dan memahamkan penikmat teks dari
teks-teks yang dikonsumsinya. Studi bahasa kritis hakikatnya adalah studi
bahasa yang dikembangkan untuk tujuan pemberdayaan. Studi bahasa kritis sangat
peduli dengan kelompok yang kalah dan terpinggirkan sehingga selalu
mengedepankan cara berpikir kritis.
Fairclough mengungkapkan adanya lima asumsi studi
bahasa kritis untuk titik tolak kepentingan analisis, yaitu:
a.
penggunaan
bahasa membentuk dan dibentuk oleh masyarakat
b.
wacana membantu
menentukan pengetahuan dan objeknya, hubungan sosial, dan identitas sosial
c.
wacana dibentuk
oleh hubungan-hubungan kemampuan dan ditanamkan dengan ideologi
d.
pembentukan
wacana berada di ujung tanduk dalam perjuangan kekuasaan
e.
studi bahasa
kritis akan menunjukkan cara sebuah masyarakat dan wacana yang saling
membentuk.
B. Definisi Kata Kunci
1.
Bahasa kritis (クリティカル言語学)
Bahasa kritis
merupakan salah satu metode analisis bahasa dalam kritik sosial. Penekanannya
adalah setiap penggunaan bahasa menunjukkan struktur diskursif (berkaitan
dengan nalar) atau pun pola ideologi (Hashiuchi, 1999:159).
2.
Ideologi (イデオロギー)
Ideologi adalah
sebuah sistem nilai atau gagasan yang dimiliki oleh kelompok atau lapisan
masyarakat tertentu, termasuk proses-proses yang bersifat umum dalam produksi
makna dan gagasan (Darma, 2009:56). Ideologi merupakan kerangka umum saat
menginterpretasikan realitas pada suatu budaya atau masyarakat, mencakup
pengetahuan, sikap, norma, nilai, dan sebagainya (Hashiuchi, 1999:159).
3.
Kritik sosial (社会批評)
Kritik
sosial adalah satu bentuk komunikasi dalam masyarakat yang bertujuan atau
berfungsi sebagai kontrol jalannya sebuah sistem sosial atau proses
bermasyarakat (Akhnad Zaini Akbar dalam Abidin, 2016:9).
4.
Proses sosial (社会過程)
Proses sosial
adalah setiap interaksi sosial yang berlangsung dalam jangka waktu tertentu
hingga menunjukkan pola-pola pengulangan hubungan perilaku dalam kehidupan
masyarakat (Suwardi, 2014).
5.
Teori sosial (社会理論)
Teori sosial
adalah sebagai sebuah sistem dari keterkaitan abstraksi atau ide-ide yang
meringkas dan mengorganisasikan pengetahuan tentang dunia sosial (Newman dalam
Pratama, 2014).
6.
Teks (テクスト)
Teks berkaitan
dengan hal yang secara aktual dilakukan, dimaknai, dan dikatakan oleh
masyarakat dalam situasi yang nyata (Darma, 2009:189). Hal senada diungkapkan
oleh Hashiuchi yang menyatakan bahwa teks dapat berupa bahasa lisan maupun
bahasa tulis yang dihasilkan melalui
suatu proses. Halliday dan Hasan (dalam Santoso, 2012:88) menyebutkan bahwa
teks adalah bahasa yang sedang melaksanakan tugas tertentu dalam konteks
situasi.
7.
Interaksi (相互作用)
Interaksi
merupakan struktur penyusun wacana bersama dengan teks dan konteks (Hashiuchi,
1999:160). Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis
yang menyangkut hubungan antara perorangan, antarkelompok manusia, maupun antara
satu individu dengan kelompok manusia (Suwardi, 2014).
8.
Konteks (コンテクスト)
Konteks mencakup
berbagai informasi yang ada di luar makna kata (Hashiuchi, 1999:23). Konteks
atau konteks situasi merupakan keseluruhan lingkungan, baik lingkungan tutur
(verbal) maupun lingkungan tempat teks diproduksi (diucapkan atau ditulis) (Santoso,
2012:91).
9.
Fenomena bahasa
(言語現象)
Fenomena bahasa
(misalnya pada percakapan antara atasan dan bawahan) berhubungan dengan masalah
di masyarakat (pada hubungan sosial) (Hashiuchi, 1999:161).
10. Fenomena sosial (ketidaksetaraan dan ketidakadilan)
atau 社会現象(不平等・不公平)
Fenomena sosial
(misalnya pada hubungan antara tenaga kerja dan manajemen) berfokus pada
ketidaksetaraan dan ketidakadilan dalam politik serta masalah sosial, terutama
prasangka manusia maupun kolonialisme (Hashiuchi, 1999:161).
11. Proses penyampaian dan penginterpretasian teks (テクストの表現過程・解釈過程)
12. Analisis wacana kritis (クリティカル談話分析)
Analisis wacana
kritis adalah sebuah upaya atau proses (penguraian) untuk memberi penjelasan
dari sebuah teks (realitas sosial) yang sedang dikaji oleh seseorang atau
kelompok dominan yang kecenderungannya mempunyai tujuan tertentu untuk
memperoleh hal yang diinginkan (Darma, 2009:49).
13. Premis (asumsi) kebudayaan (文化的前提)
Premis (asumsi) kebudayaan
merupakan suatu asumsi yang berlandaskan pada budaya yang ada di suatu tempat.
14. Kuasa (権力)
Fowler
mengungkapkan bahwa kuasa adalah kemampuan yang dimiliki seseorang atau
institusi dalam mengendalikan atau mengontrol perilaku dan kehidupan material
orang lain. Kuasa adalah persoalan relasi timbal balik antara “yang menguasai”
dan “yang dikuasai” (Santoso, 2012:4).
15. Prinsip dasar (一義性)
16. Makna ganda (両義性)
17. Metafora (隠喩)
Metafora adalah
ungkapan kebahasaan yang maknanya tidak dapat dijangkau secara langsung dari
lambang yang dipakai karena makna yang dimaksud terdapat pada prediksi ungkapan
kebahasaan itu (Wahab dalam Santoso, 2012:145).
18. Makna sosial (社会的意味づけ)
C. Tokoh-Tokoh Analisis Wacana Kritis
1. Michel
Foucault
Michel Foucault (1990) menjelaskan definisi
fenomenal dari wacana beserta dengan potensi politis dan kaitannya dengan
kekuasaan, yaitu “diskursus atau wacana adalah elemen taktis yang beroperasi
dalam kancah relasi kekuasaan”. Berdasarkan definisi tersebut, dapat
diungkapkan bahwa wacana adalah alat bagi kepentingan kekuasaan, hegemoni,
dominasi budaya, dan ilmu pengetahuan. Foucault juga menambahkan bahwa wacana
sangat berbeda dengan yang dipikirkan oleh sebagian orang yang menganggap
keberadaan wacana masih terikat dengan kelas-kelas tertentu dalam masyarakat.
Seharusnya dunia wacana tidak dianggap terpisah-pisah, misalnya antara wacana
yang diterima secara sosial dan wacana yang ditolak atau wacana dominan dan
wacana yang termaginalkan (Darma, 2009:83-84).
2.
Roger Fowler, Robert Hodge, Gunther Kress, dan Tony Trew
Fowler, Hodge, Kress, dan Trew merupakan pengajar di
Universitas Eart Anglia (aliran linguistik Eropa kontinental). Kehadiran mereka
ditandai dengan munculnya buku Language
and Central (1979). Pendekatan yang mereka lakukan dikenal sebagai critical linguistic yang memandang bahwa
bahasa sebagai praktik sosial. Critical
linguistic utamanya dikembangkan dari teori linguistik sekelompok peneliti
yang melihat cara tata bahasa (grammar)
tertentu menjadikan kata (diksi) tertentu membawa implikasi dan ideologi
tertentu. Model analisis dari Fowler dkk. didasarkan pada teori Halliday
mengenai struktur dan fungsi bahasa yang menjadi dasar struktur tata bahasa
yang kemudian dikomunikasikan pada khalayak. Pandangan Halliday (1978, 1985)
ini meliputi bahasa sebagai semiotis sosial serta fungsi bahasa yang menyangkut
tiga komponen fungsi semantis, yaitu ideasional, interpersonal, dan tekstual
(Darma, 2009:84).
3. Theo van
Leeuwen
Theo van Leeuwen memperkenalkan analisis wacana
untuk mendeteksi dan meneliti cara suatu kelompok atau seseorang
dimarginalisasikan posisinya dalam suatu wacana. Kelompok dominan lebih
memegang kendali dalam menafsirkan suatu peristiwa dan pemaknaannya sedangkan
kelompok lainnya yang posisinya lebih rendah cenderung untuk terus-menerus
dijadikan objek pemaknaan dan digambarkan dengan buruk. Analisis Theo van
Leeuwen secara umum menampilkan cara pihak-pihak dan aktor (individu atau
kelompok) ditampilkan dalam pemberitaan. Terdapat dua pusat perhatian, yaitu:
(1) proses pengeluaran (eksklusi) yang berkaitan dengan ada atau tidaknya aktor
yang dikeluarkan dari pemberitaan serta wacana yang dipakai untuk itu dan (2)
proses memasukkan (inclusion) yang
berhubungan dengan cara masing-masing pihak atau kelompok ditampilkan dalam
pemberitaan (Darma, 2009:85).
4. Sara Mills
Sara Mills mengupas cara perempuan
ditampilkan dalam teks, baik dalam novel, gambar, foto, maupun berita sehingga
sering disebut sebagai wacana berspektif feminis. Titik perhatian Sara Mills
berkaitan dengan cara perempuan digambarkan serta dimarginalisasikan dalam teks
berita serta bentuk dan pola pemarginalan tersebut. Selain itu, Sara Mills juga
memusatkan perhatian pada cara pembaca dan penulis ditampilkan (Darma,
2009:85-86).
5. Teun A van
Dijk
Model yang dikemukakan oleh Teun A van Dijk
sering disebut sebagai “kognisi sosial”. Model ini paling banyak digunakan
karena mengelaborasi elemen-elemen wacana sehingga bisa didayagunakan dan
dipakai secara praktis. Menurut Dijk, penelitian atas wacana tidak cukup hanya
didasarkan pada analisis teks semata karena teks hanya hasil dari suatu praktik
produksi yang juga harus diamati. Untuk menggambarkan model tersebut, Dijk
membuat banyak studi analisis pemberitaan media dan titik perhatiannya
diutamakan pada studi mengenai realisme. Wacana Dijk digambarkan memiliki tiga
dimensi, yaitu teks, kognisi sosial, dan konteks sosial. Dijk menggabungkan
ketiga dimensi wacana tersebut dalam satu kesatuan analisis (Darma, 2009:86-88).
6. Norman
Fairclough
Fairclough berusaha membangun suatu model
analisis wacana yang mempunyai kontribusi dalam analisis sosial dan budaya
sehingga ia mengombinasikan tradisi analisis tekstual dengan konteks masyarakat
yang lebih luas. Fairclough membuat suatu model yang mengintegrasikan analisis
wacana yang didasarkan pada linguistik, pemahaman sosial dan politik, serta
secara umum diintegrasikan pada perubahan sosial. Model yang dikemukakan
Fairclough sering disebut sebagai model perubahan sosial (social change). Fairclough membagi analisis wacana dalam tiga
dimensi, yaitu teks (teks dianalisis secara linguistik dengan melihat kosakata,
semantik, dan tata kalimat serta memasukkan koherensi dan kohesivitas), discourse practice (dimensi yang
berhubungan dengan proses produksi dan konsumsi teks), dan sociocultural practice
(dimensi yang berhubungan dengan konteks di luar teks dan konteks) (Darma,
2009:89-90).
Daftar Pustaka
Abidin,
Muhammad Zainal. 2016. “Kritik Sosial dalam Kumpulan Cerpen Lukisan Kaligrafi
Karya A. Mustofa Bisri dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia di SMA” (skripsi). Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah
Darma,
Yoce Aliah. 2009. Analisis Wacana Kritis.
Bandung: Penerbit Yrama Widya Bandung
Hashiuchi,
Takeshi. 1999. Disukousu. Tokyo:
Kuroshio Shuppan
Pratama,
Fariz Dian. 2014. Teori Sosial dan Budaya.
Diakses dari website https://farizdp15.wordpress.com/2014/01/14/teori-sosial-dan-budaya/
pada 11 September 2017
Santoso,
Anang. 2012. Studi Bahasa Kritis: Menguak
Bahasa Membongkar Kuasa. Bandung: CV Mandar Maju
Suwardi,
Arya. 2014. Proses-Proses Sosial.
Diakses dari website http://aryasuwardi08.blogspot.co.id/2014/10/proses-proses-sosial.html
pada 11 September 2017
0 Comments